Sudah banyak penelitian tentang bagaimanakah caranya sebuah kegiatan pembelajaran bisa dihadirkan secara virtual atau online, sehingga kegiatan pembelajaran bisa dilakukan dimanapun dan kapanpun. (Mungkin) semua sepakat bahwa e-learning lah jawabannya.
Telah 1 (satu) dekade lebih ide e-learning tersebut ramai diperbincangkan oleh banyak kalangan, dan sudah banyak pula yang telah menerapkannya. Akan tetapi, kebanyakan implementasi di lapangan, sistem yang dibangun ternyata sebagian besar tidak bisa berjalan dengan baik dan tahan lama, banyak situs e-learning baik di industri maupun institusi pendidikan “Mati sebelum Berkembang”.
Sebuah penelitian menyebutkan, bahwa kegagalan penerapan e-learning tersebut diakibatkan oleh kakunya sistem yang diterapkan, sehingga pengguna sistem merasa kurang termotivasi untuk menggunakannya. Sistem yang dimaksud adalah sistem yang melakukan pendekatan implementasi e-learning dengan metode Virtual Learning Environment (VLE), yaitu dengan pengembangan ruang virtual yang sengaja dibuat untuk tujuan pembelajaran. Konsekuensi dari metode VLE ini adalah harus adanya sistem ‘besar’ yang menampung semua aspek pembelajaran seperti di kelas konvensional. Guru menyimpan semua bahan pembelajaran, dan siswa harus mengikuti semua proses yang ada, dari mulai membaca materi sampai mengikuti ujian. Bagi guru yang kurang motivasi, maka ‘ruang’ yang telah dibuat tersebut tentu akan menjadi tugas tambahan yang memberatkan, begitupun siswanya. VLE lebih mengutamakan pemenuhan kebutuhan institusional dibandingkan dengan kebutuhan personal.
Di sisi lain, perkembangan web 2.0 telah banyak mengubah perilaku masyarakat pengguna internet. Kecendrungannya memperlihatkan bahwa pengguna menjadi semakin narsis, mobile dan sensitif. Web 2.0 ini melahirkan banyak sekali pilihan aplikasi online untuk digunakan masyarakat pengguna internet, dari mulai aplikasi blogging sederhana sampai dengan aplikasi sosial (social media) dengan interaktifitas dan konektivitas tinggi semacam facebook dan secondlife. Setiap orang menjadi sangat narsis, mobile dan sensitif karena hal tersebut. Setiap orang menjadi sangat bebas menentukan pilihannya untuk mengikuti ‘madzhab’ mana untuk mengekspresikan dirinya di internet, boleh jadi sekarang menjadi facebookaholic, minggu depan menjadi secondlifaholic!. Semuanya bebas pilih!!
E-learning 2.0 memiliki pendekatan yang berbeda, jika e-learning 1.0 bersifat VLE maka e-learning 2.0 bersifat PLEs, yaitu singkatan dari Personal Learning Environments. Sistem dibangun untuk memenuhi kebutuhan personal penggunanya dibandingkan dengan institusionalnya. Sehingga model ini ciri khasnya adalah :
- Setiap orang memiliki kewenangan penuh dalam mengatur kegiatan pembelajarannya
- Setiap orang berhak memberikan masukan tentang bahan pembelajaran
- Guru atau mentor memiliki tugas yang lebih ringan, yaitu hanya menjadi fasilitator dan moderator (tidak harus menyiapkan bahan pembelajaran keseluruhan)
- Tingkat kolaborasi menjadi lebih tinggi
- Penilaian proses belajar tiap siswa dapat dilakukan, tidak seperti e-learning 1.0 yang hanya memungkinkan melakukan evaluasi di akhir saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar